PENGUKURAN KEBISINGAN
Assalamualaikum wr.wb
Kali ini kita akan belajar cara untuk
mengukur kebisingan.
Selamat membaca J
Suara atau bunyi
memiliki intensitas yang berbeda, contohnya jika kita
berteriak suara kita lebih kuat dari pada berbisik, sehingga teriakan itu
memiliki energi lebih besar untuk mencapai jarak yang lebih jauh. Unit untuk
mengukur intensitas bunyi adalah desibel (dB). Skala desibel
merupakan skala yang bersifat logaritmik. Penambahan tingkat desibel berarti
kenaikan tingkat kebisingan yang cukup besar. Contoh, jika bunyi bertambah 3
dB, volume suara sebenarnya meningkat 2 kali lipat.
Kebisingan dapat menggangu karena
frekuensi dan volumenya. Sebagai contoh, suara berfrekuensi tinggi lebih
menggangu dari suara berfrekuensi rendah. Untuk menentukan tingkat bahaya dari
kebisingan, maka perlu dilakukan monitoring dengan bantuan alat: Noise
Level Meter dan Noise Analyzer, untuk mengidentifikasi paparan;
Peralatan audiometric, untuk mengetes secara periodik selama paparan dan
untuk menganalisis dampak paparan pada pekerja.
Ada tiga cara atau metode yang
digunakan dalam pengukuran akibat kebisingan dilingkungan kerja.
1.
Pengukuran
dengan titik sampling
Pengukuran ini dilakukan bila
kebisingan diduga melebihi batas hanya pada satu atau beberapa lokasi saja.
Pengukuran ini juga dapat dilakukan untuk dapat mengevaluasi kebisingan yang
disebabkan oleh suatu peralatan sederhana misalnya kompresor/generator. Jarak
pengukuran dari sumber harus dicantumkan missalnya 3 meter dari jetinggian 1
meter. Selain itu juga harus diperhatikan arah mikrofon alat ukur yang
digunakan.
2.
Pengukuran
dengan peta kontur
Pengukuran dengan membuat peta
kontur sangat bermanfaat dala mengukur kebisingan, karena peta tersebut dapat
menetukan gambar tentang kondisi kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini
dilakukan dengan membuat gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan
pengukurannya yang dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambar
keadaan kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA warna orange untuk tingkat
kebisingan diatas 90dBA, warna kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara
85-90 dBA.
3.
Pengukuran
dengan gird
Untuk mengukur dengan gird adalah
dengan membuat contoh data kebisingan pada lokasi yang diinginkan. Titik-titik
sampling harus dibuat dengan jarak interfal yang sama diseluruh lokasi. Jadi
dalam pengukuran lokasi dibagi menjadi beberapa kotak yang berukuran dan jarak
yang sama, misalnya: 10 x 10 M. kotak tersebut ditandai dengan batis dan kolom
untuk memudahkan identitas.
Ada beberapa macam peralatan
pengukuran kebisingan, antara lain sound survey meter, sound level meter,
octave band analyzer, narrow band analyzer, dan lain-lain. Untuk
permasalahan bising kebanyakan sound level meter dan octave band analyzer sudah
cukup banyak memberikan informasi.
1. Sound Level Meter (SLM)
SLM (gambar 2.5) adalah instrumen
dasar yang digunakan dalam pengukuran kebisingan. SLM terdiri atas mikropon dan
sebuah sirkuit elektronik termasuk attenuator,3 jaringan perespon
frekuensi, skala indikator dan amplifier. Tiga jaringan tersebut
distandarisasi sesuai standar SLM. Tujuannya adalah untuk memberikan pendekatan
yang terbaik dalam pengukuran tingkat kebisingan total. Respon manusia terhadap
suara bermacam-macam sesuai dengan frekuensi dan intensitasnya. Telinga kurang
sensitif terhadap frekuensi lemah maupun tinggi pada intensitas yang rendah.
Pada tingkat kebisingan yang tinggi, ada perbedaan respon manusia terhadap
berbagai frekuensi. Tiga pembobotan tersebut berfungsi untuk mengkompensasi
perbedaan respon manusia.
2. Octave Band Analyzer (OBA)
Bunyi yang diukur bersifat komplek,
terdiri atas tone yang berbeda-beda, oktaf yang berbeda-beda, maka
nilai yang dihasilkan di SLM tetap berupa nilai tunggal. Hal ini tentu saja
tidak representatif. Untuk kondisi pengukuran yang rumit berdasarkan frekuensi,
maka alat yang digunakan adalah OBA. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu
oktaf dengan satu OBA. Untuk pengukuran lebih dari satu oktaf, dapat digunakan
OBA dengan tipe lain. Oktaf standar yang ada adalah 37,5 – 75, 75-150,
300-600,600-1200, 1200-2400, 2400-4800, dan 4800-9600 Hz.
Nilai batas amabang kebisingan adalah
85 dB yang ditanggap aman untuk sebagaian besar tenega kerja bila bekerja 8
jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai ambang batas untuk kebisingan ditempat kerja
adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata yang masih dapat diterima
tenega kerja tanpa mengakibatkan hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu
teus menerus tidak lebih dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya.
Berikut ini table waktu maksimum untuk bekerja.
Table 1.2 Waktu maksimum untuk bekerja adalah
sebagai
No
|
TINGKAT KEBISINGAN (dBA)
|
PEMAPARAN HARIAN
|
1.
|
85
|
8 Jam
|
2.
|
88
|
4 Jam
|
3.
|
91
|
2 Jam
|
4.
|
94
|
1 Jam
|
5.
|
97
|
30 menit
|
6.
|
100
|
15 menit
|
Setelah pengukuran kebisingan
dilakukan, maka perlu dianalisis apakah kebisingan tersebut dapat diterima oleh
telinga. Berikut ini standar atau kriteria kebisingan yang ditetapkan oleh
berbagai pihak berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.718/Men/Kes/Per/XI/1987,tentang kebisingan yang berhubungan dengan
kesehatan.
Tabel 1.2: Pembagian Zona Bising
Oleh Menteri Kesehatan
NO
|
Zona
|
Tingkat Kebisingan (dB A)
|
|
Maksimum yang
dianjurkan
|
Maksimum yang diperbolehkan
|
||
1
|
A
|
35
|
45
|
2
|
B
|
45
|
55
|
3
|
C
|
50
|
60
|
4
|
D
|
60
|
70
|
Zona A diperuntukan bagi tempat
penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan dsb, Zona B
diperuntukan perumahan, tempat pendidikan, rekreasi, dan sejenisnya,
Zona C diperuntukan untuk perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar, dan
sejenisnya serta Zona D industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bis, dan
sejenisnya.
Pengaruh utama dari kebisingan
kepada kesehatan adalah kerusakan kepada indera-indera pendengar. Mula-mula
efek kebisingan pada pendengaran adalah sementara dan pemulihan terjadi secara
cepat sesudah pemaparan dihentikan. Tetapi pemaparan secara terus-menerus
mengakibatkan kerusakan menetap kepada indera-indera pendengaran. Dempak kebisingan tergantung kepada
besar tingkat kebisingan. Tingkat kebisingan adalah ukuran energy bunyi yang
dinyatakan dalam satuan desiBell (dB). Pemantauan tingkat kebisingan dapat
dilakukan dengan alat sound Level Meter.
Selain gangguan kesehatan kerusakan
terhadap indera-indera pendegar, kebisingan juga dapat menyebabkan : gangguan
kenyamanan, kecemasan dan gangguan emosional, stress, denyut jantung bertambah
dan gangguan-gangguan lainnya. Secara umum pengaruh kebisingan terhadapa
masyarakat dapat dibagi menjadi 2, yaitu:
1.
Ganguan
Fisiologis
Ganguan fisiologis yang diakibatkan
oleh kebisingan yakni gangguan yang langsung terjadi pada faal manusia.
Gangguan ini diantaranya:
a. Perederan darah terganggu oleh
kerena permukaan darah yang dekat dengan permukaan kulit menyempit akibat
bising > 70 dB.
b. Otot-otot menjadi tegang
akibat bising > 60 dB
c. Gangguan tidur
d. Gangguan pendengaran, oleh
karena bunyi yang terlalu keras dapat merusak gendang telinga.Penerunan daya
dengar dapat dibagi menjadi 3 kategori meliputi:
1)Trauma Akustik
Trauma akustik adalah efek dari
pemaparan yang singkat terhadap suara yang keras seperti sebuah letusan. Dalam
kasus ini energi yang masuk ke telinga dapat mencapai struktur telinga dalam
dan bila melampaui batas fisiologis dapat menyebabkan rusaknya membran thympani,
putusnya rantai tulang pendengaran atau rusak organ spirale (Goembira, Fadjar,
Vera S Bachtiar, 2003). Trauma akustik adalah setiap perlukaan yamg merusak
sebagian atau seluruh alat pendengaran yang disebabkan oleh pengaruh pajanan
tunggal atau beberapa pajanan dari bising dengan intensitas yang sangat tinggi,
ledakan-ledakan atau suara yang sangat keras, seperti suara ledakan meriam yang
dapat memecahkan gendang telinga, merusakkan tulang pendengaran atau saraf
sensoris pendengaran (Prabu,Putra, 2009)
2)Temporary Threshold Shift (TTS)/Tuli Sementara
Tuli sementara merupakan efek jangka
pendek dari pemaparan bising berupa kenaikan ambang pendengaran sementara yang
kemudian setelah berakhirnya pemaparan bising, akan kembali pada kondisi
semula. TTS adalah kelelahan fungsi pada reseptor pendengaran yang disebabkan
oleh energi suara dengan tetap dan tidak melampui batas tertentu. Maka apabila
akhir pemaparan dapat terjadi pemulihan yang sempurna. Akan tetapi jika
kelelahan melampaui batas tertentu dan pemaparan terus berlangsung setiap hari,
maka TTS secara berlahan-lahan akan berubah menjadi PTS (Goembira, Fadjar, Vera
S Bachtiar, 2003). TTS diakibatkan pemaparan terhadap bising dengan intensitas
tinggi. Seseorang akan mengalami penurunan daya dengar yang sifatnya sementara
dan biasanya waktu pemaparan terlalu singkat. Apabila tenaga kerja diberikan
waktu istirahat secara cukup, daya dengarnya akan pulih kembali (Prabu,Putra,
2009).
3)Permanent Threshold Shift (PTS)/Tuli Permanen
Tuli permanen adalah kenaikan ambang
pendengaran yang bersifat irreversible sehingga tidak mungkin
tejadi pemulihan. Gangguan dapat terjadi pada syaraf-syaraf pendengaran,
alat-alat korti atau dalam otak sendiri. Ini dapat diakibatkan oleh efek
kumulatif paparan terhadap bising yang berulang.
a. Gangguan pencernaan
b. Gangguan system saraf
2. Gangguan Psikologis
Gangguan yang secara tidak langsung
terhadap manusia dan sukar untuk diukur. Gangguan psikologis dapat berupa rasa
tidak nyaman, kurang konsentrasi, dan cepat marah.. Bila kebisingan diterima
dalam waktu lama dapat menyebabkan penyakit psikosomatik
berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan dan lain-lain.
Bising juga dapat berpengaruh
terhadap produktifitas kerja bagi masyarakat pekerja. Pengaruh bising terhadap
produktivitas kerja yaitu:
1.
Kuantitas hasil kerja sama, kualitas berbeda bila dalam
keadaan bising
2. Kerja yang banyak menggunakan
pemikiran lebih banyak terganggu dibanding dengan kerja manual.
Selain sisi negative berupa gangguan fisiologis dan
psikologis bising juga memberikan sisi negataif salah satunya adalah menambah
produktifitas musik.
Mengingat dampak negative dari
pemaparan kebisingan bagi masyarakat, sebisa mungkin diusahakan agar tingkat
kebisingan yang memapari masyarakat lebih rendah dari baku tingkat kebisingan.
Hal ini dapat dilakukan dengan pengendalian kebisisngan pada sumbernya,
penempatan penghalang (barrier) pada jalan transmisi ataupun proteksi pada
masyarakat yang terpapar.
Pengendalian kebisingan pada
sumbernya dapat melalui pemberlakuan peraturan yang melarang sumber bising
(misalnya mesin pabrik) yang mengelurkan bunyi dengan tingkat kebisingan yang
tinggi. Penempatan penghalang (barrier) pada jalan transmisi masih dapat
dilakukan dengan membuat penghalang (barrier) pada jalan transmisi diantara
sumber bising dengan masyarakat yang terpapar. Sebagai contoh, penanaman pohon
bamboo disekitar kawasan industry dapat mereduksi bising yang diterima
masyarakat ataupun proteksi kebisingan ada masyarakat yang terpapar dapat
dilakukan pengguanaan sumbat telinga pada masyarakat yang berada dekat kawasan
industry yang menghasilkan kebisingan
Sumber:
Darsono, Valentinus,
1995, Pengantar Ilmu Lingkungan. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Atma
Jaya.
Joko, S (Penerjemah),
1995, Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. WHO.
Kadir, sunarto,
2010, Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan. Gorontalo: Universitas negeri
Gorontalo.
Machfoeds, ircham, 2003, Pengelolaan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Yogyakarta: fitramaya
Mulia, ricki, 2005, Kesehatan
Lingkungan.Yogyakarta: Grahara Ilmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar